Nazalah Hidayati M.Psi.
(Psikolog UIN Malang)
Percaya diri atau yang dalam bahasa anak gaul dikenal dengan istilah PeDe, sebenarnya sudah menjadi persoalan mendasar yang nyaris dialami setiap orang. Ada yang merasa tidak PeDe (minder)
dalam hampir seluruh aspek dalam hidupnya. Bisa jadi karena terkait
persoalan krisis identitas, hilangnya kontrol diri, depresi, maupun
padangan suram masa depan. Ada pula yang merasa tidak PeDe hanya pada aktivitas yang sedang ditekuni, atau ketika menghadapi situasi-situasi tertentu.
Ada beberapa istilah terkait dengan pengertian percaya diri. Antara lain: self concept, yaitu
bagaimana seseorang menyimpulkan dirinya secara keseluruhan, atau
bagaimana ia melihat keseluruhan potret dirinya. Kemudian, self esteem,
yaitu perasaan positif seseorang terhadap diri sendiri, atau keyakinan
adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga dalam diri
sendiri.
Selain itu, self efficacy,
berupa keyakinan seseorang terhadap kapasitas dan kemampuan dirinya
untuk menjalankan tugas, atau menangani persoalan, dengan hasil yang
bagus. Selanjutnya, self confidence, yaitu keyakinan seseorang terhadap penilaian atas kemampuan diri dan perasaannya terhadap “kepantasan” untuk berhasil.
Berdasarkan pengertian di atas, maka
kepercayaan diri adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini
(M2), dan mengetahui (M3). Orang yang memiliki kepercayaan diri rendah
atau minder, akan memiliki perasaan negatif terhadap dirinya,
keyakinannya lemah terhadap kemampuan diri, dan pengetahuan terhadap
kapasitas diri kurang akurat.
Sebaliknya, orang yang memiliki
kepercayaan diri tinggi, mereka akan memiliki perasaan positif terhadap
diri sendiri, keyakinan kuat tentang dirinya dan akurat menilai
kemampuan diri. Namun, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi,
bukanlah orang yang hanya merasa mampu, padahal sebenarnya ia tak mampu.
Tapi ia adalah orang yang mengetahui, bahwa dirinya mampu berdasarkan
pengalaman dan perhitungan.
Orang minder adalah tipikal orang
yang bermental lemah. Ia akan merasa selalu tidak aman, gelisah, cemas
dan khawatir. Akibatnya, ia cenderung besar bergantung kepada orang
lain, tidak mandiri, dan ragu-ragu. Ia akan selalu dipenuhi rasa
khawatir, takut dan gelisah yang berlebihan. Kerja otaknya pun menjadi
lemah, dan tak mampu memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat untuk diri
sendiri, apalagi orang lain.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari,
orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah atau minder, dapat
dilihat dalam beberapa ciri berikut ini: Pertama, tidak memiliki sesuatu
(keinginan, tujuan, atau target) yang sungguh-sungguh diperjuangkan.
Kedua, tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive. Ketiga, mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah maupun kesulitan.
Keempat, kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah.
Kelima, sering gagal atau tidak optimal menyempurnakan tugas-tugas atau
tanggung jawab. Keenam, canggung dalam menghadapi orang. Ketujuh, tidak
bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan mendengar. Kedelapan,
sering berpengharapan yang tidak realistis. Kesembilan, terlalu
perfeksionis. Kesepuluh, terlalu sensitif (perasa).
*Membangun Kepercayaan Diri*
Ada beberapa langkah yang kiranya dapat
dijadikan latihan untuk mengembangkan kepercayaan diri: Pertama,
menciptakan definisi diri positif. “Cara terbaik untuk mengubah sistem
keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu,” tandas Steve Chandler.
Untuk melakukannya, dapat dimulai dengan membuat kesimpulan yang positif
tentang diri sendiri, atau membuat opini positif tentang diri sendiri.
Selain itu, upayakan untuk terus
belajar melihat bagian-bagian positif, kelebihan, kekuatan yang kita
miliki. Atau membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif
yang bisa kita lakukan. Mulai dari yang paling kecil atau yang bisa kita
lakukan hari ini.
Selain itu, yang perlu dilakukan
adalah menghentikan munculnya opini diri yang negatif. Seperti perasaan:
saya tak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tak berharga, saya tak
akan sukses, dan seterusnya. Setelah kita mampu menghentikannya, tugas
kita kemudian adalah mengganti perasaan-perasaan itu dengan yang
positif, konstruktif dan motivatif.
Kedua, memperjuangkan keinginan yang
positif. Yaitu dengan merumuskan program atau agenda perbaikan diri.
Upaya ini bisa berbentuk misalnya dengan membuat target baru yang hendak
kita wujudkan. Atau kita rumuskan kembali langkah-langkah positif yang
hendak kita lakukan. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau
keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah PeDe kita.
Ketiga, mengatasi masalah secara positif. PeDe
juga bisa diperkuat dengan cara memberi bukti kepada diri sendiri,
bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa. Semakin
banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah PeDe kita. Lama kelamaan, kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah.
Keempat, memiliki dasar keputusan
yang positif. Memang, tak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya
dalam menghadapi masalah atau saat ingin mewujudkan keinginannya.
Mahatma Gandhi mengatakan, “Ketika saya putus asa, maka saya selalu
ingat, bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan
cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan, yang sepintas
sepertinya akan menang, tapi akhirnya kalah”. Artinya, kepercayaan
Gandhi kembali tumbuh, setelah ia mengingat bahwa langkahnya sudah
dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.
Kelima, memiliki model/teladan yang
positif. ?Yang terpenting dalam usaha ini adalah menemukan orang lain
yang bisa kita contoh sisi kepercayaan dirinya. Ini menuntut kita untuk
sering membuka mata, melihat orang lain yang lebih bagus dari diri kita,
lalu jadikannya sebagai pelajaran. Karena, upaya memperbaiki diri,
dapat dilakukan dari dua hal: pengalaman pribadi (life experiencing), dan mencontoh atau mempelajari orang lain (duplicating).
Boks
Bahaya Terlalu PeDe
Bisa dikatakan, semua orang mungkin ingin
memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Namun, ada beberapa
sisi negatif di balik kecenderungan itu yang perlu kita waspadai dan
kelola secara proporsional. Agar kemudian tidak membuahkan sikap dan
perilaku merugikan atau merusak.
Di antaranya: Pertama, arogansi. Akibat terlalu PeDe, kita akan mudah merendahkan orang lain (looking down atau humiliate),
karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Walau memang sah-sah
saja jika kita merasa lebih dari orang lain, tapi kita tidak boleh
memandang rendah mereka. Apalagi sampai menghina dengan kata-kata atau
perbuatan.
Kedua, merasa paling benar sendiri, dan
tak bisa menerima kebenaran orang lain. Terkadang, memang ada alasan
untuk merasa benar. Tapi waspadai munculnya perasaan paling benar.
Karena akan membuat kita bisa menyimpulkan orang lain selalu salah.
Merasa semua orang salah, akan membuat kita juga salah.
Menolak opini atau tak mau mendengarkan pendapat, mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, atau keras kepala (stubbornness).
Opini orang lain memang tak semuanya perlu kita dengar. Tapi juga tak
semuanya perlu ditolak. Karena, ada hal-hal positif yang bisa kita ambil
dari opini orang lain.
Ketiga, pribadi yang “terlalu PeDe”, akan
memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau
tanpa empati. Model komunikasi demikian, kerap menimbulkan kualitas
hubungan yang kurang sincere (tulus/sungguh-sungguh). Di
samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau
resistensi. Secara naluri, orang akan lebih nyaman bila didekati dengan
model komunikasi empatik, asertif atau persuasif.
Keempat, kurang perhitungan terhadap
bahaya potensial, atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail.
Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan
mengatasi masalah atau berpikir beyond the technique, memang positif dan dibutuhkan. Tapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu sangat membahayakan.
Kelima, kurang bisa mempercayai kapasitas
orang lain, atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Selain
itu, orang yang kelewat PeDe, akan sulit mempercayai omongan
atau penjelasan orang lain, sebelum ada bukti-bukti nyata. Ada kalanya
kita memang tak boleh 100% mempercayai orang lain. Namun akan jadi
masalah jika kita tak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal. Kita
akan sulit mendelegasikan semua pekerjaan kepada orang lain, akan selalu
underestimate, ingin menjadi “polisi” atas orang lain, dan lainnya. Semua itu jelas menyusahkan diri sendiri.
Keenam, terlalau PeDe, akan menghasilkan penilaian diri yang over (berlebihan),
mematok imbalan terlalu tinggi, atau selalu menuntut diperlakukan
terlalu idealis. Memang boleh saja kita memiliki penilaian diri setinggi
langit, mematok “harga” setinggi-tingginya. Namun, jika itu malah
membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran
alternatif dan belajar menjadi fleksibel.
Jangan kita patah karena terlalu keras.
Jangan pula kita tak bisa membedakan antara tahu diri dan tak tahu diri
dalam praktek. Karena, bedanya sangat tipis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar