Pages

Rabu, 26 Februari 2014

Agar Tidak Minder

Nazalah Hidayati M.Psi.
(Psikolog UIN Malang)
Percaya diri atau yang dalam bahasa anak gaul dikenal dengan istilah PeDe, sebenarnya sudah menjadi persoalan mendasar yang nyaris dialami setiap orang. Ada yang merasa tidak PeDe (minder) dalam hampir seluruh aspek dalam hidupnya. Bisa jadi karena terkait persoalan krisis identitas, hilangnya kontrol diri, depresi, maupun padangan suram masa depan. Ada pula yang merasa tidak PeDe hanya pada aktivitas yang sedang ditekuni, atau ketika menghadapi situasi-situasi tertentu.
Ada beberapa istilah terkait dengan pengertian percaya diri. Antara lain: self concept, yaitu bagaimana seseorang menyimpulkan dirinya secara keseluruhan, atau bagaimana ia melihat keseluruhan potret dirinya. Kemudian, self esteem, yaitu perasaan positif seseorang terhadap diri sendiri, atau keyakinan adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga dalam diri sendiri.
Selain itu, self efficacy, berupa keyakinan seseorang terhadap kapasitas dan kemampuan dirinya untuk menjalankan tugas, atau menangani persoalan, dengan hasil yang bagus. Selanjutnya, self confidence, yaitu keyakinan seseorang terhadap penilaian atas kemampuan diri dan perasaannya terhadap “kepantasan” untuk berhasil.
Berdasarkan pengertian di atas, maka kepercayaan diri adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang memiliki kepercayaan diri rendah atau minder, akan memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, keyakinannya lemah terhadap kemampuan diri, dan pengetahuan terhadap kapasitas diri kurang akurat.
Sebaliknya, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, mereka akan memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, keyakinan kuat tentang dirinya dan akurat menilai kemampuan diri. Namun, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, bukanlah orang yang hanya merasa mampu, padahal sebenarnya ia tak mampu. Tapi ia adalah orang yang mengetahui, bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungan.
Orang minder adalah tipikal orang yang bermental lemah. Ia akan merasa selalu tidak aman, gelisah, cemas dan khawatir. Akibatnya, ia cenderung besar bergantung kepada orang lain, tidak mandiri, dan ragu-ragu. Ia akan selalu dipenuhi rasa khawatir, takut dan gelisah yang berlebihan. Kerja otaknya pun menjadi lemah, dan tak mampu memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat untuk diri sendiri, apalagi orang lain.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah atau minder, dapat dilihat dalam beberapa ciri berikut ini: Pertama, tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, atau target) yang sungguh-sungguh diperjuangkan. Kedua, tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive. Ketiga, mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah maupun kesulitan.
Keempat, kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah. Kelima, sering gagal atau tidak optimal menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab. Keenam, canggung dalam menghadapi orang. Ketujuh, tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan mendengar. Kedelapan, sering berpengharapan yang tidak realistis. Kesembilan, terlalu perfeksionis. Kesepuluh, terlalu sensitif (perasa).
*Membangun Kepercayaan Diri*
Ada beberapa langkah yang kiranya dapat dijadikan latihan untuk mengembangkan kepercayaan diri: Pertama, menciptakan definisi diri positif. “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu,” tandas Steve Chandler. Untuk melakukannya, dapat dimulai dengan membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri, atau membuat opini positif tentang diri sendiri.
Selain itu, upayakan untuk terus belajar melihat bagian-bagian positif, kelebihan, kekuatan yang kita miliki. Atau membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan. Mulai dari yang paling kecil atau yang bisa kita lakukan hari ini.
Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan munculnya opini diri yang negatif. Seperti perasaan: saya tak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tak berharga, saya tak akan sukses, dan seterusnya. Setelah kita mampu menghentikannya, tugas kita kemudian adalah mengganti perasaan-perasaan itu dengan yang positif, konstruktif dan motivatif.
Kedua, memperjuangkan keinginan yang positif. Yaitu dengan merumuskan program atau agenda perbaikan diri. Upaya ini bisa berbentuk misalnya dengan membuat target baru yang hendak kita wujudkan. Atau kita rumuskan kembali langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah PeDe kita.
Ketiga, mengatasi masalah secara positif. PeDe juga bisa diperkuat dengan cara memberi bukti kepada diri sendiri, bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah PeDe kita. Lama kelamaan, kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah.
Keempat, memiliki dasar keputusan yang positif. Memang, tak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau saat ingin mewujudkan keinginannya. Mahatma Gandhi mengatakan, “Ketika saya putus asa, maka saya selalu ingat, bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan, yang sepintas sepertinya akan menang, tapi akhirnya kalah”. Artinya, kepercayaan Gandhi kembali tumbuh, setelah ia mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.
Kelima, memiliki model/teladan yang positif. ?Yang terpenting dalam usaha ini adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh sisi kepercayaan dirinya. Ini menuntut kita untuk sering membuka mata, melihat orang lain yang lebih bagus dari diri kita, lalu jadikannya sebagai pelajaran. Karena, upaya memperbaiki diri, dapat dilakukan dari dua hal: pengalaman pribadi (life experiencing), dan mencontoh atau mempelajari orang lain (duplicating).
Boks
Bahaya Terlalu PeDe
Bisa dikatakan, semua orang mungkin ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Namun, ada beberapa sisi negatif di balik kecenderungan itu yang perlu kita waspadai dan kelola secara proporsional. Agar kemudian tidak membuahkan sikap dan perilaku merugikan atau merusak.
Di antaranya: Pertama, arogansi. Akibat terlalu PeDe, kita akan mudah merendahkan orang lain (looking down atau humiliate), karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Walau memang sah-sah saja jika kita merasa lebih dari orang lain, tapi kita tidak boleh memandang rendah mereka. Apalagi sampai menghina dengan kata-kata atau perbuatan.
Kedua, merasa paling benar sendiri, dan tak bisa menerima kebenaran orang lain. Terkadang, memang ada alasan untuk merasa benar. Tapi waspadai munculnya perasaan paling benar. Karena akan membuat kita bisa menyimpulkan orang lain selalu salah. Merasa semua orang salah, akan membuat kita juga salah.
Menolak opini atau tak mau mendengarkan pendapat, mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain memang tak semuanya perlu kita dengar. Tapi juga tak semuanya perlu ditolak. Karena, ada hal-hal positif yang bisa kita ambil dari opini orang lain.
Ketiga, pribadi yang “terlalu PeDe”, akan memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model komunikasi demikian, kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang sincere (tulus/sungguh-sungguh). Di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi empatik, asertif atau persuasif.
Keempat, kurang perhitungan terhadap bahaya potensial, atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan mengatasi masalah atau berpikir beyond the technique, memang positif dan dibutuhkan. Tapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu sangat membahayakan.
Kelima, kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain, atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Selain itu, orang yang kelewat PeDe, akan sulit mempercayai omongan atau penjelasan orang lain, sebelum ada bukti-bukti nyata. Ada kalanya kita memang tak boleh 100% mempercayai orang lain. Namun akan jadi masalah jika kita tak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal. Kita akan sulit mendelegasikan semua pekerjaan kepada orang lain, akan selalu underestimate, ingin menjadi “polisi” atas orang lain, dan lainnya. Semua itu jelas menyusahkan diri sendiri.
Keenam, terlalau PeDe, akan menghasilkan penilaian diri yang over (berlebihan), mematok imbalan terlalu tinggi, atau selalu menuntut diperlakukan terlalu idealis. Memang boleh saja kita memiliki penilaian diri setinggi langit, mematok “harga” setinggi-tingginya. Namun, jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel.
Jangan kita patah karena terlalu keras. Jangan pula kita tak bisa membedakan antara tahu diri dan tak tahu diri dalam praktek. Karena, bedanya sangat tipis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Chelsea FC

Blogroll